26 Jun 2013

[2Min] Time Out /Yaoi/1 of 4

Cast : Lee Taemin, Choi Minho, (Lee) Choi Jinki, Kim Kibum, Tiffanny (coming soon)
Genre : School life, fluff, romance
Halooo~ 2min lagi yang saia bawa. hehe
Kali ini FF dari cerita cantik yang berjudul sama ‘Time Out’. Gue suka banget ama komiknya, and kepikiran buat bikin jadi 2min. Mungkin sebagian kalian ada yang tau and udah baca. Bagus yaaahh?? gemes2 unyu gitu, ini bacaan gue waktu SMP sekitar 11 tahun lalu. wkwkwkwk
NO PLAGIARISM!
NO BASH!
[shared-writting by: http://suunsanniiew.wordpress.com ]
[re-shared by: this blog ^^]
Original Story By : Akino Yoko
Edit by : Kei Love Taemin
Komen yaaahh, gomawoo… ^^v
Credit Pic by: Page Boy
.
.
.
.
Taemin POV
Pletak!
            Sebutir kerikil menerpa punggung tas ranselku. Memang tidak terasa sakit, hanya saja aku merasa sangat dongkol karenanya. Dan itu membuatku cemberut, tapi aku menahan diri untuk tidak menoleh.
Pletak!
            Kerikil kedua. Kali ini mengenai pundakku. Aku jadi semakin sebal karenanya. “Ya! Apa kau tidak ada kerjaan lain, eoh?!” bentakku sambil berbalik.
            Orang yang kubentak – si penendang kerikil –, hanya tertawa. Namja seumurku. Seragam sekolahnya sama seperti yang kupakai. Warnanya masih cemerlang, pertanda murid baru. Dan… ehm, aku pun juga termasuk murid baru. Sudah beberapa bulan ini, aku menjadi murid SMA – Seoul High School –.
            Jalan ke sekolah memang cukup dekat dari tempat tinggalku. Hanya lima belas menit berjalan kaki. Tetapi setiap aku berangkat melewati jalan ini, hampir setiap pagi aku menerima tembakan kerikil dari orang yang sama. Si namja kurang kerjaan! Begitu aku menyebutnya jika sudah kesal.
            “Ya! Cemberut di pagi hari sangat tidak baik tahu! Lihat! Matahari jadi malas bersinar!” kata namja itu seenaknya.
            Ck, bisa-bisanya dia berkata seperti itu, eoh?! Namun, dia benar. Matahari memang sedang malas bangun dan membuka mata. Cuaca cukup mendung pagi ini. Dan menurutku, sangat tidak nyaman memulai hari yang menyenangkan dengan keadaan cuaca yang kurang cerah seperti itu. Selama sehari nanti, pasti bawaannya malas dan mengantuk. Fiuh..
            “Ya! Kalau wajahmu menekuk begitu terus, nanti akan cepat keriput, hahaha!”ledeknya sambil tersenyum jahil padaku. Melihat wajahnya yang tersenyum seperti itu, membuatku jadi ikut tersenyum.
            “Nah! Begitu lebih manis.”katanya sambil berjalan cepat mendahuluiku.
            Apa?! Manis?? Hei! Aku namja!
            “Ya!” panggilku.
            “Mwo? Kalau perlu sesuatu, katakan dengan baik-baik dan jangan berteriak begitu.”
            Wajahnya yang sok serius itu membuatku semakin kesal.
            Kutarik tasnya. “Kau harusnya minta maaf.”
Namja itu menaikkan alisnya yang tebal. “Aku? Minta maaf? Memangnya aku salah apa?”
            “Berapa kerikil yang sudah kau tendang?! Berapa kali punggungku kena sasaran, eoh?!”
            Ekspresi wajahnya sesaat menegang, lalu kembali seperti semula. “Oh…itu. Hmm, aku cuma ingin membuktikan tendanganku memang jitu. Dan punggungmu…hei, tas-mu baru, ya? Pasti kau sengaja memakai ransel untuk menghindari tembakan kerikilku. Ha ha ha, cerdik juga caramu.”
            Aku tersenyum. Rasanya aku memang tidak bisa marah jika sudah berhadapan dengan makhluk ini. Selalu saja aku memaafkannya jika dia melakukan keisengannya padaku, walau kadang sering keterlaluan tapi pasti akan berakhir dengan aku yang memaafkan perbuatannya itu.
            Choi Minho. Aku mengenalnya sewaktu upacara penerimaan murid baru. Nomor absen kami berurutan. Aku nomor 24 dan dia nomor 25. Sebagai murid baru yang belum saling mengenal, semua jadwal piket dan pembagian tempat duduk berdasarkan urutan absen. Dan itu membuatku sering duduk di dekatnya. Termasuk jadwal piket membersihkan kelas selepas bel pulang.
            Perkenalanku dengan Minho bukanlah perkenalan yang wajar. Waktu itu aku berangkat sekolah dengan tergesa-gesa. Aku tidak ingin terlambat di hari pertama sekolah. Aku sudah bertekad untuk menjalani masa SMA dengan gembira. Hanya gembira. Jangan sampai sedih ataupun ada kejadian yang membuat kecewa.
            Hari pertama yang kumulai dengan berdoa dan banyak senyum dari rumah, ternyata malah membuat wajahku bersungut-sungut, bahkan sebelum waktu aku sampai di gerbang sekolah baru. Sebutir kerikil menerpa punggungku. Tentu saja aku kaget. Ketika aku menoleh, kulihat seorang namja sebayaku sedang tersenyum lebar. Dia berdiri di depan pintu gerbang apartemen yang lumayan mewah. Wajahnya sebenarnya menarik, ehm walau masih tidak bisa menandingi ketampananku tentunya. Hehehe. Namun, kerikil yang nyasar ke punggungku terlanjur membuatku kesal.
            Kuhampiri namja itu, “ Ya! Apa maumu?!” hardikku.
            Sesaat dia kaget. Pasti dia tidak menyangka aku akan berbalik dan menghardiknya.
            “Eh, tidak apa-apa. Aku hanya melatih kakiku. Tendanganku hebat, kan?!” katanya tanpa merasa bersalah.
            Aku sudah hampir marah melihat dia tidak mau meminta maaf. Tiba-tiba pintu apartemen terbuka. Seorang namja berkulit putih, berpipi tembam, dan matanya sangat sipit, benar-benar bertolak belakang dengan namja di hadapanku ini yang berkulit sedikit lebih coklat dan matanya yang besar. Tetapi kalau diperhatikan lagi, ada suatu kemiripan di wajah mereka. Melihat seragam sekolah yang dikenakan, mereka pasti satu sekolah denganku.
            “Hei, ada apa ini?” tanya si namja yang baru keluar tadi.
            Sebelum sempat menjawab, namja bermata besar itu menyahut, “Aku sedang melatih kakiku menendang kerikil. Ketika tembakanku tepat sasaran, ehh…dia marah-marah.”
            Si namja berpipi tembam melotot, “Kau pasti bikin gara-gara. Minho, ayo minta maaf.”
            Oh, namanya Minho, pikirku.
            Akhirnya si namja yang bernama Minho itu membungkuk dalam-dalam sambil meminta maaf. Tetapi matanya mengerling nakal. Aku terkesiap melihat matanya yang berbinar dan kemarahanku langsung reda. ==’a
            Namja berpipi tembam itu memperkenalkan diri. “Kenalkan. Aku Choi Jinki. Dia adikku, Choi Minho.”
            “Aku Lee Taemin,” kataku.
            “Boleh kupanggil Taemin saja?” tanya Minho.
            Aku menaikkan alisku. Namja ini benar-benar seenaknya. Tapi…dipanggil Taemin memang lebih terdengar akrab daripada dengan embel-embel ‘shi’, mungkin aku akan berteman dengannya.
            “Boleh.” ujarku.
            Lalu kami bertiga berjalan bersama. Aku melangkah berdampingan dengan Jinki hyung. Minho berkali-kali menyeruak diantara kami, sehingga dia berada di tengah. Berkali-kali pula Jinki hyung menyeret tangan adiknya untuk menyingkir bila kami sedang bercakap-cakap.
            Aku merasa beruntung berkenalan dengan Jinki hyung. Dia sudah kelas dua. Jadi, dia lebih tahu tentang situasi sekolah.
            “Ada beberapa klub olahraga yang bisa dipilih. Aku sendiri memilih sepak bola.”jelas Jinki hyung.
            “Aku juga mau ikut klub sepakbola.” celetuk Minho.
            “Aku tidak tanya,” jawabku cuek.
            Jinki hyung tertawa keras melihat Minho yang kaget dengan ucapanku barusan. Perjalanan singkat ini ternyata sangat menyenangkan. Aku jadi lebih banyak tahu tentang sekolahku yang baru. Aku sudah berangan-angan untuk memilih salah satu. Mungkin klub fotografi, tari atau olahraga.
            “Jangan memilih fotografi. Jinki hyung bilang, anaknya serius-serius. Nanti kau pasti langsung jadi tua.” nasihat Minho sok tahu.
            Di sekolah, aku bertemu dengan beberapa teman SMP. Kami segera bergabung dan berkenalan dengan teman-teman lainnya. Kulihat Minho punya banyak teman. Dia memang menyenangkan dan gampang akrab dengan orang lain bahkan dengan kakak kelas dia kelihatan sudah banyak mengenal. Maklum, Jinki hyung kan kelas dua. Pasti banyak yang pernah main ke apartemennya. Minho menyapa teman-teman hyung-nya dengan ceria, sedangkan aku hanya berjalan diam disebelahnya.
            “Hei Taemin, senyuuumm. Dari tadi wajahmu cemberut saja. Jelek tahu!” benak Minho.
            Cih, dasar… belum kenal dekat sudah berani membentak. =3=
            “Aku bukan cemberut, tahu. Kalau kau sibuk sendiri menyapa semua orang dan aku tidak kenal mereka, kau pikir aku harus berbuat apa?!” bantahku.
            Minho tertawa geli. “Iya juga, ya. Yah, aku memang memiliki pesona tinggi.”
            ==’…. aku hanya terdiam mendengarnya. Dia benar-benar percaya diri sekali.
            Walau dia itu sedikit narsis, menyebalkan dan jahil…entah kenapa ada sesuatu di hatiku yang mengatakan dia namja yang baik dan menyenangkan. Mudah-mudahan aku bisa berteman baik dengannya.
            Dan entah mengapa, mataku tidak bisa lepas dari Minho. Aku suka melihatnya tertawa. Wajahnya terlihat sangat menarik. Matanya seperti hidup bila ia sedang berbicara, dan tawa yang membuat orang lain ikut merasakan kebahagiaannya. Aku bertopang dagu di tepi jendela. Tanpa sadar aku memperhatikan Minho yang sedang bercakap-cakap dengan anak laki-laki lainnya. Tangannya selalu bergerak kalau bicara. Tawanya terdengar renyah. Ah… diam-diam aku menyimpan wajahnya yang sedang tertawa itu di dalam benakku. Aku….
            Tiba-tiba Minho menoleh ke arahku. Dari kejauhan, dia memeletkan lidah. Aku kaget, sekaligus malu. Tidak kusangka dia tahu bahwa aku sedang memperhatikannya. Dengan cemberut aku balas memeletkan lidah, lalu pergi dari jendela. Malu karena ketahuan aku sedang memperhatikannya.
            Pertemuan kedua berlangsung setengah jam kemudian. Kami harus berbaris sesuai dengan urutan nomor absen. Aku berada didepan Minho.
            “Hei Taemin, sepertinya kau tidak mau pisah denganku, eum?” katanya menggoda.
            Suaranya tidak keras, tetapi cukup membuat anak-anak disekitar kami menoleh. Mereka menatapku dengan heran. Aku menjadi gemas, dan kutarik rambutnya.
            “Tidak akan kulepas sebelum kau minta ampun,” kataku.
            Minho terkekeh, “Tidak mau. Dijambak namja cantik sepertimu malah membuatku senang.”
            “Mwo?!” spontan aku melepaskan tanganku dari rambutnya. Minho tertawa geli. Anak-anak yang melihat juga tertawa.
            “Dengar Minho, aku namja dan tidak cantik! Dengar itu!” protesku dan segera berbalik ke depan.
            “Kalau marah semakin manis, Tae-Miiinn-niie~” bisiknya menekankan namaku seperti meledek.
            Aissh… cari gara-gara rupanya, eoh?! Aku segera berbalik dan akan melayangkan kepalan tanganku untuk menjitaknya tetapi suara songsaenim di depan, membuatku mengurungkan niatku.
            “Dengarkan!” kata guru tersebut, “Setiap kelas harus memilih dua orang wakilnya untuk mengikuti upacara penerimaan siswa baru besok.”
            “Lee Taemin!” tiba-tiba suara Minho terdengar lantang.
            Beberapa teman SMP yang telah mengenalku langsung bertepuk tangan.
            “Ya, Lee Taemin saja!”
            “Dulu dia aktif di OSIS SMP.”
            Aku terbengong. Aissh… dasar namja gila. Yah gara-gara ulahnya, aku mewakili kelas kami bersama dengan Kim Kibum. Tak akan pernah kulupakan senyuman Minho ketika aku berdiri di depan kelas.
            Akhirnya, aku juga dipilih menjadi ketua kelas. Wah, sebenarnya ini tugas berat mengingat aku belum mengetahui karakter anak-anak di kelasku. Sementara itu, dengan semangat tinggi Minho berkali-kali meneriakkan namaku.
            “Minho, berisik!” aku membentaknya yang kini menjadi teman sebangku-ku.
            Walau awalnya ia kaget karena aku membentaknya, tapi akhirnya ia akan tetap berbuat sesuka hatinya.
            Tugas pertama sebagai ketua kelas adalah membagi jadwal piket dan susunan bangku. Karena kami belum saling mengenal, maka diputuskan untuk membaginya berdasarkan nomor absen. Dan itu berarti, aku tetap duduk berdekatan dengan Minho. Aku juga tetap satu kelompok piket dengannya.
            Setelah selesai membagi jadwal dan kembali ke tempat dudukku, Minho mendekatkan kepalanya padaku.
            “Aku tahu, pembagian tugas itu karena kau ingin selalu dekat denganku,” bisiknya. Wajahnya begitu dekat, dan aku menjadi jengah karenanya.
            “Bukan. Aku…”
            “Ah, sudahlah. Aku tahu, kok!”
            Aku benar-benar kesal Karena dia tidak mau mendengar ucapanku dan aku hampir saja memukulnya kalau saja songsaenim tidak keburu masuk ke kelas.
            “Awas kau. Dasar ge-er.” cibirku.
            Namun, sejak kejadian itu kami menjadi akrab. Saling olok, saling mengejek. Tetapi selalu saja aku tidak bisa marah padanya. Walau terkadang aku benar-benar sangat ingin memukulnya. Dan yang paling aku suka darinya, adalah mendengar tawanya yang renyah. Diam-diam, aku juga sering mencuri pandang saat dia mengobrol dengan teman-temannya.
           Aissh…kurasa aku sudah gila! Aku akan memasukkan catatan ke notes-ku untuk mengunjungi psikiater nanti.
            Bagaimana bisa, aku tertarik dengan sesama namja, eoh? Terlebih namja menyebalkan sepertinya. Gezz….
            Hmm,, Minho memang tidak setampan hyung-nya. Jinki berwajah lembut. Walau begitu, ternyata Jinki hyung dipilih menjadi kapten tim sepak bola sekolah! Dan… kalau Minho… menurutku dia tidak jelek… dia memiliki senyum dan tawa yang menarik. Rahangnya yang kukuh membuatnya tampak serius. Namun, melihat matanya yang bersinar nakal, orang pun akan tahu bahwa namja itu luar biasa jahil, suka seenaknya.
            Bruk!
            Aku menabrak punggung Minho yang berhenti mendadak. Orang-orang menatapku dengan pandangan aneh. Tentu saja aneh, karena aku tiba-tiba menabrak punggung orang lain.
            “Minho!”
            “Bukan salahku, kan? Harusnya kau waspada kalau ada mobil berhenti mendadak.” katanya. Sejurus kemudian wajahnya kelihatan serius. “Memang kau melamunkan apa, eoh?”
            Aku gelagapan. Mana mungkin aku bilang kalau aku sedang memikirkannya. Huuu… bisa jadi ejekan sepanjang hari nanti.
            “Aku… aku sedang memikirkan pertandingan sepak bola minggu depan. Aku khawatir kita tidak bisa berlatih serius. Mana sekarang sedang banyak tugas.”
            Minho menatapku. Tepat di bola mataku.
            “Kau mengkhawatirkan klub sepak bola?” tanyanya. “Pagi-pagi begini sudah memikirkan klub?”
            Aku mengangguk mantap. “Tentu. Bukankah aku manajer klub? Wajar saja kalau aku memikirkan klub kita. Kalau kalian tidak bisa berlatih, aku juga yang repot.”
            Begitulah. Setiap hari aku selalu mendapatkan sapaan kerikil selamat pagi.
.
.
.
Author POV
            Acara latihan sepak bola selalu membuat Taemin bersemangat. Ia merasa, semangat yang keluar dari masing-masing pemain sepak bola bisa menularinya untuk terus bersemangat. Apalagi kalau melihat Jinki berlari mengelilingi lapangan, kakak laki-laki Minho itu selalu bersemangat bila sudah di lapangan bola.
            Taemin menyukai gaya Jinki saat dia sedang member intruksi pada anggota klub lain. Tegas dan membuat yang lain hormat padanya. Dia tidak tampak berlebihan dan merasa sok jadi pemimpoin sebuah klub.
            Bahkan Minho yang suka bersikap seenaknya pun menjadi takluk. Walau menghadapi adiknya sendiri, Jinki tidak pandang bulu. Mungkinkah Minho serius kalau turun ke lapangan karena sikap hyung-nya?? pikir Taemin.
            “Tentu saja aku serius. Di lapangan dia bukan hyung-ku. Dia seniorku. Aku bisa membedakan kapan harus bercanda dan kapan harus tertawa-tawa.” Jawab Minho ketika Taemin menanyakan hal itu.
            Namun, Taemin lebih suka saat melihat Minho berlari. Matanya yang tajam memandang ke depan dan wajahnya tampak bersungguh-sungguh. Sama sekali tidak kelihatan bahwa dia bandelnya minta ampun.
            Sore ini, Taemin selesai membenahi ruang klub sepak bola. Anak-anak klub sering seenaknya melemparkan kaus dan tas mereka sembarangan. Dan Taemin sangat tidak suka melihat pemandangan klub yang penuh dengan barang berserakan sehingga ia dengan suku rela membereskannya. Loker Minho tampak paling berantakan lalu Taemin mengambil sebuah kaus yang menyangkut di pintu lokernya yang terbuka, kemudian melipatnya dengan rapi, menata sepatu dan juga tas sekolah yang dimasukkan secara asal.
            “Aigoo~ kenapa berantakan sekali…” gerutu Taemin sambil menutup pintu loker Minho.
            Membereskan loker tentu saja bukan tugas Taemin sebagai manajer. Tetapi melihat loker yang berantakan itu membuat Taemin gemas untuk membereskannya. Yah, Taemin bisa memaklumi keadaan loker dan ruang klub yang berantakan. Bukan karena mereka namja yang urakan, tetapi karena waktu untuk berganti baju memang terbatas. Selepas bel pulang sekolah berbunyi, semua anak klub sepak bola berlari ke ruangan ini. Mereka punya waktu paling banyak setengah jam untuk menyiapkan diri. Bisa dibayangkan, betapa kacaunya kalau mereka datang bersama-sama.
            Jarak antara ruangan klub sepak bola, basket atau klub olahraga lain memang cukup jauh dari kelas. Mereka harus menyusuri koridor menuju halaman belakang sekolah. Di sana terbentang lapangan rumput, lapangan basket, dan lapangan tenis. Sedangkan lapangan sepak bola terletak paling ujung karena sangat luas. Mereka harus melewati beberapa lapangan olahraga lain untuk sampai ke ruangan klub.
            Taemin pun harus segera melesat keluar kelas bersama yang lain. Kalau hanya anggota klub sepak bola saja yang harus bergegas, mungkin tidak apa-apa, tapi yang membuat mereka terlambat adalah karena semua anak dari berbagai klub juga harus bergegas menuju ruang klub masing-masing sehingga koridor di depan kelas selalu penuh dengan anak-anak yang berlari untuk mengjar waktu.
            Namun, ada satu hal yang selalu membuat Taemin selalu bersemangat. Ia bisa memandangi Minho sepuas-puasnya dari jendela. Saat ia sedang berlari, jongkok, berlari kodok, atau saat ia melamun. Semua itu ia simpan dalam otaknya dan kalau mengingatnya, itu membuatnya bersemangat. Yah, Taemin akui bahwa ia terpikat oleh Minho. Walau Minho suka bersikap seenaknya, tapi itu yang membuat Taemin semakin menyukainya karena Taemin tahu, Minho hanya berbuat begitu padanya. Pada teman-teman yang lain dia memang sering jahil, tetapi berbeda dengan yang ia lakukan pada Taemin.
            Yang membuat hubunga mereka istimewa adalah karena mereka bisa berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Taemin terkadang balas meledeknya, atau mereka bisa bertukar cerita tentang apa saja. Dan Taemin yakin, dengan begitu berarti Minho percaya padanya.
            Menyenangkan sekali mempunyai rahasia yang hanya di ketahui berdua….
            Beberapa helai handuk harus sudah dicuci. Ketika Taemin hendak berdiri membawa keranjang berisi handuk, tiba-tiba badannya menabrak loker dan keranjang yang dibawanya pun terjatuh sehingga handuk-handuk di dalamnya berserakan.
            Ketika Taemin akan memungutinya, tiba-tiba sebuah tangan mengangkat handuk yang jatuh itu.
            “Jinki hyung?! Kenapa masih di sini? Yang lain sudah mulai berlari mengelilingi lapangan.” Kaa Taemin heran, setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih karena dibantu memunguti handuk-handuk tadi.
            “Aku mau mengambil catatan pemain yang akan turun sore ini.” Jawab Jinki.
            Taemin tersenyum, “Aku suka melihat gaya hyung ketika sudah bertanding di lapangan. Minho yang jahil dan suka seenaknya itu pun jadi serius”
            “Minho?” kening JInki berkerut. “Anak itu selalu serius kalau berhubungan dengan sepak bola. Dia sudah ikut klub sepak bola sejak SMP. Apa dia tidakperbah cerita?”
            Taemin menggeleng. “Yang aku tahu, Minho itu nakal, jahil dan suka seenaknya.”
            Jinki terkekeh geli, “Itu memang bawaan dari lahir.” Guraunya. “Oya Taemin, apa kau tidak lelah menjadi manajer di klub ini? Tugasnya kan banyak sekali.”
            “Lelah? Yah, pastinya lelah. Tapi aku menyukainya. Walaupun menurut orang lain tugas seorang manajer klub sepak bola sama dengan seksi repot, tetapi menurutku ini sangat menyenangkan. Apalagi saat melihat kalian berlatih. Aku merasa semangat kalian juga ikut menerpaku.” Kata Taemin sambil menerawang, memandang keluar jendela.
            Apa lagi saat melihat Minho berlari…. –lanjut Taemin.
            Jinki memandang Taemin serius, “Jadi itu alasanmu menjadi manajer klub kami?”
            “Ya,” Taemin balas menatap Jinki. “Menjadi manajer klub di sini berarti belajar mengurus segala macam keperluan. Yah, dengan begini aku bisa belajar untuk bertanggung jawab.”
            Namja berpipi tembam itu berkacak pinggang, “Ah, kalau begitu anak-anak akan kusuruh berlatih lebih semangat. Supaya kau ikut tertular semangatnya.”
            “Wah, jangan berlebihan begitu…” kata Taemin malu.
            “Nah, supaya kau makin bersemangat, pakailah handuk ini di leher. Kau akan terlihat seperti pelatih yang berdiri di pinggir lapangan.” Jinki mengalungkan handuk yang dipegangnya ke leher Taemin.
            Taemin terpaku. Wajah mereka sangat dekat, dan Taemin merasa pipinya panas dan memerah karena malu.
            Tiba-tiba pintu terbuka. Minho! Dia berdiri memperhatikan Taemin dan JInki dengan raut wajah yang sulit diartikan. Minho terlihat tercengan, tak percaya.
            Taemin menjadi malu kepergok ketika sedang berdekatan dengan Jinki. Bahkan tangan Jinki berada di pundak Taemin.
            “Eh, sori mengganggu.” Minho berbalik.
            “Hei!” panggil Taemin.
            “Kau ada perlu apa?” Tanya Jinki pada Minho. Suaranya sangat tenang.
             Taemin tahu, sebenarnya Jinki juga gugup. Tetapi dia bisa menguasai diri. Pastinya juga karena terbiasa menghadapi situasi tegang seperti ini ketika di lapangan.
            “Tidak. Aku…aku hanya ingin tahu daftar nama pemain yang diturunkan sore ini.” Jawab Minho. “Kata anak-anak, daftarnya tertinggal di ruangan. Jadi, aku ke sini untuk mengambilnya.”
            “Oh… itu. Aku juga sedang mengambilnya. Ini, ada di kantongku.” Jinki mengeluarkan daftar itu, dan segera keluar ruangan.
            “Jinki hyung.” Panggil Taemin.
            Namja itu berhenti dan berbalik, “Ya?”
            “Terima kasih yang tadi, ya.”
            Jinki tersenyum, lalu melambaikan tangan.
            Minho masih berdiri di pintu. Dia ikut berbalik mengikuti hyungnya. Sebelum melangkah keluar, Minho melongokkan kepalanya ke dalam ruangan.
           “Hei, terima kasih yang tadi apa, eoh? Kau diapakan oleh Jinki hyung sampai kau bilang terima kasih segala?”
            Taemin memanyunkan bibirnya, “Mau tahu saja.”
            “Oh, ayolah Taemiiin…” ucap Minho merajuk.
            Taemin menghela napas, “Tadi dia membantuku memungut handuk-handuk yang terjatuh.”
            Minho mengerutkan keningnya, “Termasuk handuk yang itu?” katanya sambil menunjuk handuk yang melingkar di leher Taemin.
             Wajah Taemin memerah, Minho pasti berpikir yang tidak-tidak.
            “Tidak, ini…”
            “Hmm, aku tahu.”
            “Hei, bukan. Aku tadi sedang membereskan ruangan sewaktu….” Ucap Taemin gugup.
             Namun, namja bermata belo itu sudah menghilang dari pintu. Percuma bila Taemin menjelaskannya. Taemin melempar             handuk di lehernya ke dalam keranjang.
             “Pasti si Minho itu akan terus-terusan mengejekku besok.” Gumamnya kesal.
             Taemin meletakkan keranjang ke sudut ruangan. Tak ada lagi yang bisa ia kerjakan sampai mereka selesai berlatih. Dari jendela, ia melihat Jinki mulai memanggil nama-nama pemain yang turun sore ini. Mereka adalah pemain yang dipilih untuk menghadapi pertandingan minggu depan.
             Taemin bertopang dagu d jendela. Pemandangan dari jendela yang paling ia suka. Dia bisa melihat lapangan sepak bola yang luas, lengkap dengan jajaran pepohonan yang mengitari lapangan. Tempat itu memang menyenangkan.
              Sekilas ia melihat Jinki melambaikan tangan padanya. Taemin membalas dengan lambaian dan senyum lebar. Sejurus kemudian Minho menoleh padanya, dan memeletkan lidah. Taemin pun membalasnya dengan sebal.
             “Weee, Minho jelek!” teriaknya.
              Taemin tertawa sendiri. Yah mana mungkin Minho bisa mendengarnya. Dia berada di dalam ruangan dan jendelanya tertutup.
              Mereka telah selesai memilih pemain dan latihan pun dimulai. Jonghyun menggiring bola lalu mengoperkan pada teman di sebelah kirinya. Tetapi musuh menghadang terlebih dulu dan menendangnya jauh ke muka gawang. Di sana ada Minho. Kakinya bagai lem yang menangkapnbola operan dengan mudah. Dengan gerakan manis, dia berputar sambil menendang bola ke arah  gawang lawan. Putaran badannya sama sekali tidak terduga oleh kipper. Endangannya yang keras berhasil menggetarkan gawang.
              “Gooool!!”
               Taemin ikut bersorak kegirangan. Minho menleh ke jendela dengan gembira Taemin mengacungkan kedua jempolnya ke arah Minho.
               “Kau hebat, Minho!” teriak Taemin semangat.
                Taemin tak peduli Minho mendengarnya atau tidak. Tetapi dari ekspresi wajahnya, dia pasti tahu Taemin gembira. Entah mengapa, dada Taemin jadi berdebar-debar.
                Minho, kau memang menarik.
                Namun kegembiraan itu hanya sekejap. Semua pemain harus kembali ke pola permainan di lapangan. Inilah yang Taemin suka dari permainan sepak bola. Kegembiraan yang meluap karena berhasil memetik gol, harus segera diimbangi dengan konsentrasi penuh pada permainan berikutnya. Penguasaan emosi yang luar biasa ini harus dimiliki oleh setiap pemain. Kalau si pemain terlalu bergembira, bisa-bisa konsentrasi permainannya melenceng. Bahkan dengan supporter banyak pun mereka tetap tak boleh terpengaruh. Latihan semacam ini sangat di perlukan untuk mengantisipasi kemungkinan supporter lawan yang lebih kuat.
                 Menurut Taemin, Minho sudah menguasai hal itu. Dan Taemin yakin kalau Minho tak kalah dengan Jinki, hyungnya.
                 Dan, sekarang Minho tengah berlari menggiring bola. Matanya tajam menatap teman yang akan ia beri umpan, sementara kakinya bergerak lincah menggiring sekaligus melindungi bola dari sambaran kaki musuh.
                  Taemin sangat suka melihat gaya Minho yang seperti itu. Rambut yang menutupi keningnya melambai-lambai di terpa angin. Matanya tajam seperti elang. Rahangnya dikatupkan kuat-kuat. Sungguh menarik.
                  Tiba-tiba Taemin merasakan hangat di dalam dadanya. Jantungnya yang berpacu lebih kencang dari biasanya. Taemin sadar bahwa ia menyukai Minho sejak pertama ia melihat tawanya. Rasa sukanya terhadap Minho, membuatnya tak bisa marah bila Minho mulai menggodanya.
                   Latihan selesai ketika matahari sudah mulai bergulir ke barat. Ruangan yang semula rapi, sekarang menjadi seperti kapal pecah. Kaus di lempar sembarangan, sepatu berserakan dimana-mana, ditambah lagi dengan bau keringat yang hmm…. Luar biasa,
                    “Hei, jangan melempar kaus sembarangan, ya! Kasihan manajer kita. Dari tadi dia merapikan ruangan ini.” Teriak Jinki. “Kalian ini bagaimana?! Sudah dibantu merapikan tidak berterima kasih malah bikin berantakan lagi.”
                      Taemin menunduk malu, “Bukan begitu. Maksudku….ini kan memang tugasku.”
                      Jinki berdiri. “Di sana kan sudah ada keranjang untuk kaus-kaus kotor. Kalau mau melempar, lempar saja ke keranjang itu.”
                       Seperti dikomando, anak-anak melempar kaus itu ke dalam keranjang cucian besar. Gaya mereka kini seperti pemain basket. Taemin tertawa melihatnya.
                        “Ha,,ha,,hmmp” tawa Taemin terhenti ketika sebuah kaus bertengger di kepalanya.
                        “Eh, mian. Kukira tadi keranjang basket.”
                         Uh, siapa lagi kalau bukan Minho. Hnaya dia yang suka berlaku seenaknya pada Taemin. Taemin mengambil kaus itu dan melemparnya balik ke arah Minho yang sedang tertawa. Yap! Tepat mengenai wajahnya. Lalu Taemin berbalik keluar ruangan.
                         “Mau kemana?” Tanya Jinki.
                         “Keluar. Bau keringat di sini luar biasa.” Kata Taemin, menahan tawa.
                         Taemin berdiri di koridor, memandang lapangan sepak bola yang sekarang kosong. Beberapa menit yang lalu, lapangan itu ramai oleh anak-anak yang berlari-lari mengejar bola. Sekarang, sunyi sepi. Hanya ada rumput dan tiang gawang yang membisu.
                         Aneh rasanya.
                         “Sedang apa di sini?”
                          Taemin menoleh.
                          Minho.
                           “Eh..tidak apa-apa. Kau sendiri sedangapa?”
                            Minho diam. Tidak biasanya ia seperti itu.
                            “Taemin, maaf tadi aku melempar kaus. Aku….”
                             Taemin menatapnya heran. “Tumben kau minta maaf? Pasti disuruh Jinki hyung, kan?”
                            “Anii.”
                             Taemin mengernyitkan dahi bingung. Tapi melihat Minho yang jadi salah tingkah, akhirnya ia menepuk bahu Minho, “Nee, ku maafkan.”
                             Setelah membereskan seisi ruangan untk terakhir kali, Taemin segera mengunci pintu. Matahari sudah meluncur ke barat. Sinarnya yang kemerahan membuat koridor terasa hangat. Taemin menyukai suasana seperti ini. Ia merasa seperti berjalan di dunia lain. Sekali lagi, ia menoleh ke lapangan sepak bola yang kosong. Sinar matahari sore membuat bayangan tiang gawang menjadi panjang.
Pletak!
                             Sebuah kerikil mengenai pundak Taemin.
                              Tanpa perlu menoleh, ia tahu benar siapa pelakunya. Hanya Minho yang mempunyai kebiasaan menyapa seperti itu. Kebiasaan yang aneh.
                             “Kau lelah, Taemin?”
                              Taemin tertawa. “Wah, aku jadi terharu. Huhuhu…hari ini kau terlihat lain dari biasanya. Tadi minta maaf, sekarang menanyakan aku lelah atau tidak. Luar biasa sekali!”
                               Dengan gemas, Minho manarik ransel Taemin, “Aku serius. Kalau kau lelah, sebaiknya kau berhenti jadi manajer. Tugas sekolahmu kan sudah cukup banyak. Kau jadi ketua kelas, manajer klub, juga pengurus OSIS. Hmm, apa kau masih kurang kerjaan?”
                              Taemin melongok mendengar kata-kata Minho barusan. Terlebih Minho mengatakannya dengan serius.
                               “Kalau kurang kerjaan, bilang padaku. Aku akan menyuruhmu berlari dua puluh kali mengelilingi lapangan.”
                              Dasar Minho! Tetap saja iseng menggoda orang.
                              Taemin mempoutkan bibirnya lalu memukul lengan Minho pelan. Akhirnya mereka keluar ruangan bersama-sama. Jinki masih berada di ruangan guru, menyelesaikan laporan untuk pertandingan mendatang.
                              “Apa yang membuatmu ingin menjadi manajer klub sepak bola, eoh?”
                              Hampir saja Taemin menjawab, Minho-lah yang mendorongnya untuk masuk ke sana. Tetapi tentu saja itu tak mungkin ia katakan.
                               “Permainan ini menarik. Setelah masuk klub, aku baru tahu. Untuk menyajikan permainan yang hebat di lapangan, butuh waktu lama untuk berlatih. Tidak hanya berlatih menendang bola, tetapi juga berbagi bola dengan anggota lain. Itu yang aku suka.” Jawab Taemin tenang.
                               “Hanya itu?”
                                Oh, ntah apa maksud pertanyaan Minho barusan.
                              “Banyak alasan lain. Hei, kau bukan eomma-ku dan juga bukan appa-ku, kan? Jadi aku tak perlu menjelaskannya padamu.” Sahut Taemin sambil memeletkan lidahnya lalu tertawa. “Sayangnya, dalam permainan sepak bola tidak ada istilah Time out. Kalau ada, kita bisa mengatur strategi singkat untuk menghadapi lawan.”
                               Minho diam saja.
            “Kau ikut turun main minggu depan?”
            Minho menendang kerikil, “Ya. Dari kelas satu ada enam orang. Lainnya anak kelas dua.”
             Taemin mengangguk. “Memang harus begitu, ya? Kalau kelas satu harus diikutkan supaya punya pengalaman. Jadi, kalau para senior sudah naik kelas tiga, kalian yang akan menggantikan mereka.”
              “Baik, manajer.”
              Taemin hanya tersenyum keki mendengarnya.
              Apartemen Minho sudah dekat. Tapi rasanya Taemin ingin jalanan antara sekolah dan apartemen Minho diperpanjang agar mereka mempunyai banyak waktu untuk berjalan bersama.
              “Tendangamu tadi bagus! Aku sampai berjingkrak-jingkrak karena senang.” Puji Taemin tulus.
               Mata besar Minho berbinar, “Pasti kau berjingkrak-jingkrak sambil memanggil-manggil namaku.”
               Muka Taemin memerah. “Anii. Jangan ge-er, ya!”
               Namun Minho seolah tak mendengar, “Gomawo. Kau suka?”
               “Ya. Aku suka.”
                Sejenak Taemin tedrdiam. “Maksudku…hmm…maksudku, aku menyukai permainanmu di lapangan.”
                “Oh, begitu.”
            Mereka terdiam. Taemin takut kalau-kalau Minho mengetahui bahwa sebenarnya ia menyukai Minho.
            Gerbang apartemen Minho sudah di depan mata. “Sampai besok, ya.” Kata Taemin sambil melambaikan tangan.
            “Annyeong~”
             Minho berdiri di depan gerbang. Taemin jadi berhenti dan berbalik.
            “Ada apa?”
             “Terima kasih kau mau membereskan lokerku yang berantakan, Taemin.”
             Wajah Minho sedikit memerah karena malu atau karena terkena sinar matahari senja, eoh?
             “Oh, itu…”
             “Jangan bilang ‘itu memang tugasku sebagai manajer’. Aku bosan dengan jwaban itu.” Selanya.
              Taemin terdiam. “Itu karena mataku seperti diganjal batu sewaktu melihat lokerm yang berantakan. Jangan dikira karena aku berbaik hati merapikannya, ya. Apa lagi bau keringatmu yang ugh…”
               Minho tercengang.
               Taemin terkekeh senang sambil berlari menjauh.
               “Hei, Taemin!”
Pletak!
                Sebutir kerikil mengenai pundaknya lagi.
               “Sampai besok, ya!” Minho berlari sebelum Taemin sempat mengatakan apa-apa. Akhirnya Taemin pun meneruskan perjalanannya menuju rumah. Bayangan Minho yang tercengang sewaktu melihatnya berduaan dengan Jinki kembali berkelebat di benaknya. Wajah Minho tampak kaget. Dia menangkap ada rasa tidak suka pada matanya.
                 Wae??
.
.
.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar