26 Jun 2013

[2Min] Time Out /Yaoi/2 of 4

Cast : Lee Taemin, Choi Minho, (Lee) Choi Jinki, Kim Kibum, Tiffanny
Genre : School life, fluff, romance


NO PLAGIARISM!
NO BASH!
 [shared-writting by: http://suunsanniiew.wordpress.com ]
[re-shared by: this blog ^^]
Original Story By : Akino Yoko
Edit by : Kei Love Taemin
Credit Pic by: Page Boy
.
.
.
Author POV
Hari ini di kelas Taemin dan Minho kedatangan murid baru. Namanya Tiffanny. Ketika yeoja itu berdiri di depan kelas untuk memperkenalkan diri, semua anak serentak menahan napas melihat wajah cantiknya. Yah, Tiffanny sangat cantik. Rambutnya panjang berkilau, matanya bulat, kulitnya putih dan tubuhnya langsing semampai. Kecantikan itu semakin sempurna ketika Tiffanny memulai perkenalan. Jelas kelihatan bahwa dia ramah dan mudah bergaul. Dengan ringan dia menjawab semua pertanyaan yang diajukan teman-teman. Sampai akhirnya songsaenim merasa perkenalan sudah cukup, dan meminta Tiffanny untuk duduk dibelakang. Tepat di belakang meja Taemin. Itu memang satu-satunya meja yang tidak berpenghuni.
Tiffanny tersenyum, berjalan mendekati bangku yang ditunjuk songsaenim untuknya, dan jelas ia tepat berjalan ke arah Taemin. Tiba-tiba saja Minho mengangkat tangan dan berkata, “Park Sam, kalau boleh, biar Tiffanny yang duduk dengan Taemin. Saya saja yang pindah ke belakang.”
Taemin terkejut mendengarnya. MWO YA?!!
Anak-anak tertawa lirih.
“Minho memang baik, ya.”
“Hebat. Kau memang lelaki sejati, Minho.”
Ha ha ha….Tawa anak-anak semakin keras.
Apa-apaan mereka? Lelaki sejati? Memang kalian pikir aku bukan laki-laki sejati, eoh?! –batin Taemin kesal.
Sambil terkekeh, Minho mengangkat tas dan bukunya lalu pindah ke bangku belakang.
Kau tahu…aku merasa sesuatu terasa menghilang dari hatiku…..
            Walau Minho tetap duduk di bangku belakang, tepat di belakang Taemin, tapi Taemin merasa lain. Selama beberapa bulan, setiap pagi hingga usai sekolah, dia dan Minho duduk bersebelahan. Tiba-tiba saja mata Taemin terasa panas. Ia merasa ditinggalkan, sendirian.
“Selamat tinggal, Taemin. Jangan menangis, ya. Aku masih disini, di belakangmu.”
Suara Minho yang berbisik menggoda justru semakin membuat Taemin sedih. Tetapi tentu saja ia tidak akan pernah mau memperlihatkan kesedihan itu di depan Minho.
“Eh, maaf ya. Aku membuat kalian berpisah.” Suara Tiffanny yang penuh penyesalan menyadarkan lamunan Taemin.
Ck, betapa egoisnya aku. Kalau Tiffanny duduk sendirian di belakang pasti ia akan kesepian. –pikir Taemin.
“Oh, gwenchana…” kata Taemin berusaha tersenyum. Dia melirik Minho, “Kedatanganmu malah membuatku terbebas. Bebas dari gangguannya. Dia iseng sekali.”
“Oh, ya? Tapi kelihatannya dia orang yang baik.”
“Anii. Kau belum saja mengenalnya. Kalau sudah kenal, wah…rambutmu yang panjang pasti jadi sasaran. Dia suka menjambak, kau tahu.”
“Hah?! Wah kalau begitu, besok kuikat saja.” Tiffanny pura-pura ketakutan.
Taemin dan Tiffanny tertawa berdua.
“Hei, kalian bicara apa?! Kenapa melirikku segala, eoh? Pasti si anak ayam ini bercerita yang jelek-jelek tentangku. Ya kan, anak ayam?!” hardik Minho dengan suara bass-nya.
Taemin mencibir. “Buat apa aku membicarakanmu?! Untung kau pindah ke belakang. Aku cuma minta agar Tiffanny berhai-hati padamu.”
“Jangan percaya dia, Tiffanny. Walau si anak ayam ini ketua kelas, tapi dia itu suka berbohong.”
“Minho!”
Suara songsaenim membuat Minho terdiam. “Ada yang ingin kau tanyakan? Dari tadi matamu selalu memandang Tiffanny.”
“E-e…itu…anii…” jawab Minho gugup.
Anak-anak tertawa. Park Sam juga ikut tertawa. Minho jadi salah tingkah, dan Tiffanny hanya tersenyum.
Pulang sekolah, Tiffanny mengajak Taemin untuk mampir ke apartemennya.
“Kami baru pindah tiga hari yang lalu. Aku sudah berjanji pada Mama untuk mengajak teman pertama yang kukenal berkunjung ke rumah untuk berkenalan dengannya. Dan orang itu adalah kau, Taemin. Walau kau namja, tapi aku sangat nyaman denganmu.”
Taemin tersenyum mendengarnya.
“Oya, kenapa Minho memanggilmu dengan sebutan ‘anak ayam’? Sepertinya…hanya dia yang memanggilmu begitu?”
Taemin mengangguk sambil menghela napasnya, “Minho memang suka seenaknya. Dia bilang aku ini bawel seperti anak ayam.”
Hahahaha, Tiffanny tertawa terbahak mendengarnya.
Apartemen Tiffanny termasuk apartemen kelas atas. Letaknya agak di tengah jalan besar. Ruangannya berada di lantai 3, mereka pun langsung masuk ke sana.
“Wah, disini nyaman sekali.” Ucap Taemin sambil memandang sekitar.
“Kami tidak sempat melihat-lihat apartemen lain. Begitu mendapatkan apartemen yang cukup dekat dengan sekolah, Mama langsung setuju.”
Seorang wanita mungil membukakan pintu. Sepintas wajahnya sangat mirip dengan Tiffanny.
“Annyeong haseyo.” Sapa Taemin.
“Oh, annyeong haseyo.” Jawab wanita itu.
Dengan ramah wanita itu mempersilahkan masuk.
“Mama, ini Taemin. Dia teman sebangku-ku dan juga ketua kelas.” Ucap Tiffanny saat mereka duduk di ruang tamu.
“Wah beruntung sekali Tiffanny bisa duduk dengan ketua kelas. Kalau ada kesulitan bisa langsung bertanya.”
Taemin sedikit risih mendengarnya, “Ah, tidak begitu. Justru saya sering dianggap galak oleh teman-teman. Soalnya saya suka menghardik murid-murid yang malas piket siang. Terutama anak laki-laki.”
Mama Tiffanny tertawa, “Ah, zaman belum berubah. Anak laki-laki selalu saja malas memegang sapu. Kalau ada kesempatan kabur, mereka pasti akan melakukannya.”
Taemin terkekeh, “Tapi Ahjumma, saya tidak begitu. Hehehe”
“Ah benar! Hahaha, maksud Ahjumma, kebanyakan laki-laki seperti itu. Aduuh, bukan maksudnya untuk menyindir.”
Taemin mengangguk dan tersenyum.
Tak lama kemudian Tiffanny keluar sambil membawa dua gelas jus jeruk. “Mama dulu pernah jadi ketua kelas, Taemin. Makanya Mama tahu repotnya jadi ketua kelas.”
“Oh ya?”
Di atas meja kecil tampak foto keluarga, Tiffanny kecil benar-benar sangat cantik. Tidak jauh berbeda dengan yang sekarang. Dia diapit oleh kedua orang tuanya. Papa Tiffanny berkebangsaan Perancis. Oleh karena itu, wajah Tiffanny berwajah campuran. Hidung, mata dan rambut Tiffanny seperti Papanya. Tapi mulut dan bentuk wajahnya mirip dengan Mamanya.
Mereka tinggal di Perancis selama empat tahun. Dan sekarang Papa Tiffanny ditugaskan ke Seoul, entah untuk berapa lama.
Sejak itu, Taemin dan Tiffanny bersahabat. Menurut Taemin, Tiffanny adalah teman yang menyenangkan. Tiffanny selalu tertawa, dan Taemin merasa sangat cocok dengannya. Walau mereka tetap saja seorang namja dan yeoja. Seolah perbedaan gender itu bukan merupakan penghalang berarti. Tiffanny bebas dan nyaman-nyaman saja bercerita mengenai hal pribadinya pada Taemin, begitu juga sebaliknya. Walau Taemin lebih menjadi sosok yang mendengarkan.
Tiap kali berjalan bersama Tiffanny, Taemin merasa mereka menjadi pusat perhatian. Dan itu sangat tidak nyaman. Berkali-kali orang bertanya apa mereka berpacaran? Terlebih wajah Tiffanny yang bagai magnet menyedot perhatian warga sekolah tiap kali ia berjalan. Tapi lama-kelamaan Taemin pun terbiasa, dan orang-orang pun akhirnya mengerti bahwa mereka hanya sekedar bersahabat.
“Taemin, punya plester? Tanganku tergores duri…” panggil Minho.
Taemin berbalik, dan ia melihat jari Minho yang berdarah.
Tiffanny ikut menoleh, “Ah! Darah! Aku takut melihat darah!”
Tiffanny menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Taemin segera menyuruh Minho menutup lukanya dengan plester yang ia beri. Lalu Taemin menepuk-nepuk pundak Tiffanny, menenangkannya.
“Hei, sudah. Lukanya sudah ditutup.”
Pelan-pelan Tiffanny membuka tangannya. Wajahnya tampak ketakutan.
“Hei, aku dengar orang yang takut darah itu perasaannya lembut, ya?” celetuk Minho sambil bertopang dagu. Entah ia berbicara pada siapa. Matanya kosong menatap keluar jendela.
Dan tiba-tiba dadaku terasa sesak….
“Yah, aku memang tidak tahan melihat darah.” Kata Tiffanny.
Minho melirik keduanya. Tangannya masih menopang kepalanya, “Nah, itu baru namanya yeoja sempurna. Tidak seperti yeoja jejadian galak yang mirip anak ayam seperti…hmm…siapa ya…??”
Taemin tersentak menatap Minho. Ia serasa seperti disengat lebah mendengar perkataan Minho. Dia tidak marah, hanya saja…hanya saja kenapa seolah hatinya…sakit?
“Apa…apa sebenarnya kau tidak menyukaiku? Apa itu alasanmu pindah tempat duduk, Minho?”
Minho melirik Taemin yang tengah menatapnya, “Ya, Taemin! Kalau saja kau bisa lebih lembut pasti….”
Apa Minho? Pasti….?
            “Pasti dunia kiamat! Hahahahaha!”
Errrgh! Menyebalkaaaaann!!!
“Hey, Minho, jangan begitu. Taemin itu bukan galak atau kasar, tapi dia memang harus tegas menghadapi anak-anak kelas yang dipimpinnya. Karena jadi ketua kelas itu bukan pekerjaan mudah, iya, kan Taemin?” kata Tiffanny membela.
“Aku sebenarnya lembut seperti salju yang pertama turun di musim dingin. Hanya saja…untuk menghadapi anak-anak yang suka iseng seperti bekas teman sebangkuku, aku terpaksa memegang sapu untuk memukul pantatnya.”
“Ya! Kau kira aku ini anak kecil sampai dibawakan sapu segala? Aku bukan orang iseng, tahu.” Ucap Minho membela diri. “Kalau kau membawa sapu sih memang pantas. Kau memang mirip nenek sihir! Hahaha…”
Taemin pura-pura tidak mendengar. “Oya, Tiffanny. Kau pasti senang kalau berkenalan dengan kakak-nya Minho. Orangnya ramah, tetapi tegas kalau di lapangan. Dia juga tampan.” Kata Taemin sambil mengacungkan dua jempolnya.
Minho langsung berhenti tertawa, dan menatap Taemin tajam. Taemin sadar itu tapi ia memilih pura-pura tidak tahu.
Mata Tiffanny terbelalak. “Oh ya? Kapan-kapan ajak aku melihat latihan, ya? Aku jadi penasaran, Taemiiinn (>///<)” histeris Tiffanny sambil meremas-remas tangan Taemin.
Minho masih memandang Taemin tajam, dan Taemin jadi merasa bersalah. Dengan ragu ia pun menyahut, “Ehm, boleh…”
“Kenapa kau terlihat ragu, Taemin? Tidak boleh, yaaa….” rengek Tiffanny.
“Bu-bukan begitu. Aku hanya berpikir, selama ini mereka berlatih hanya dilihat teman-teman se-klub atau mereka yang suka menonton bola. Kalau Tiffanny datang, aku khawatir mereka nanti tidak jadi berlatih. Malah lebih suka mengobrol denganmu…”
Tiffanny tertawa, “Taemin, bisa saja. Tetapi sekali-sekali aku ingin melihat latihan sepak bola. Walau aku tidak tahu tentang sepak bola, tapi aku ingin melihatnya secara langsung dari dekat. Boleh, kan?”
Akhirnya Taemin mengangguk dan tersenyum, “Boleh saja.”
“Minho juga ikut klub sepak bola, kan?” Tanya Tiffanny.
Minho hanya menjawab dengan anggukan singkat.
“Dia nanti ikut turun pada pertandingan antar sekolah. Tendangannya memang hebat, sehebat tendangan kerikilnya.”
“Kerikil?” tanya Tiffanny.
“Ah, jangan pedulikan omongannya. Kalau ingin melihat latihan kami, boleh kok. Semangatku pasti langsung berlipat-lipat kalau kamu datang.” Minho mengatakannya sambil tersenyum lebar.
Taemin menahan napas.
“Jadi boleh, ya? Aku juga ingin melihat Minho berlatih.” Ucap Tiffanny senang.
Taemin merasakan dadanya tiba-tiba sesak, ntah karena apa dia pun tidak mengerti. Dan akhirnya Taemin mengangguk, “Boleh. Nanti sore, ya.”
.
.
.
.
Sore itu Tiffanny dan Taemin berjalan bersama menuju tempat latihan. Dengan riang yeoja cantik itu melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah yang panjang. Taemin sudah mengira kalau anak-anak pasti akan tercengang melihat kedatangan Tiffanny.
Benar saja. Ketika Tiffanny masuk ke ruang klub, semua anak menatap heran dan juga bingung. Semula Taemin mengira bahwa semua akan bersorak riuh seperti saat berhasil memasukkan bola ke gawang lawan, namun kali ini sambutannya benar-benar di luar dugaan. Anak-anak yang selalu mempunyai cadangan energi bila di lapangan, sekarang lain. Mereka hanya terdiam sambil melongo melihat kedatangan Tiffanny.
Bahkan beberapa anak yang sedang memakai kaus jadi terpaku karenanya. Gerakan tangan mereka yang sedang memasukkan kaus jadi terhenti di udara. Mereka seperti patung-patung di museum lilin.
“Hai,” sapa Tiffanny riang.
Tidak ada yang menyahut. Seakan mereka sedang berada di batas mimpi dan kenyataan.
“Ya! Disapa Tiffanny kenapa kalian malah diam saja, eoh?!” ucap Taemin ketus. “Tidak sopan.”
Setelah Taemin berkata begitu, kesadaran mereka langsung pulih. Anak-anak berebut menyalami Tiffanny. Hanya Jinki yang tetap tenang. Dia menoleh sekilas lalu kembali menalikan sepatunya.
“Tiffanny,” panggil Taemin setelah histeria itu mereda. “Kenalkan. Ini Jinki hyung yang kuceritakan tadi.”
Jinki segera berdiri, lalu mengangguk.
“Taemin bilang, Jinki oppa kapten tim sepak bola sekolah kita. Senang sekali bisa berkenalan dengan oppa.” Kata Tiffanny ramah.
Jinki jadi salah tingkah, dia hanya bergumam lirih dan itu membuat Taemin tertawa melihat gelagatnya yang lucu.
Anak-anak yang lain sebenarnya masih ingin bercakap-cakap dengan Tiffanny. Tetapi Jinki sudah memberi isyarat untuk segera turun ke lapangan.
“Ya! Kenapa buru-buru?! Bukannya masih 15 menit lagi?”
“Kenapa cepat sekali?!”
“Nanti Tiffanny ke lapangan, kan?”
Entah siapa yang berteriak begitu. Karena keadaan benar-benar ramai.
Tiffanny mengangguk riang, “Pasti. Aku ingin melihat permainan kalian.”
Anak-anak bersorak riuh sambil berlari ke lapangan.
“Taemin, kami duluan ke lapangan, ya.”
“Ya, kalian duluan saja. Aku masih harus membereskan ruangan. Nanti kususul.” Kata Taemin. Terbayang isi ruangan yang berantakan ditinggal sekumpulan anak-anak itu.
“Kalau begitu kubantu, ya,” kata Tiffanny.
“Tidak perlu, terima kasih. Ini tugasku. Kau pasti tidak akan tahan mencium bau keringat mereka.” Canda Taemin.
“Hmm…oya, tadi Minho kemana? Aku ingin melihatnya berlatih. Kenapa sekarang belum muncul?” kata Tiffanny benar-benar terlihat kecewa.
Taemin pun terdiam membenarkan. Minho…eodiseo?

TAEMIN POV
Tiba-tiba saja aku merasa sedih. Seperti perasaan yang kualami ketika Minho pindah ke bangku belakang. Ada sesuatu yang seakan hilang.
“Sebentar lagi pasti muncul. Minho belum pernah absen selama ini.” Kataku menenangkan Tiffanny yang tampak khawatir.
Tiffanny pun akhirnya mengangguk, “Baiklah, akan kutunggu di lapangan kalau begitu. Taemin, aku duluan ya?” ucap Tiffanny sambil berjalan ke lapangan.
“Ne, nanti aku menyusul.” Jawabku sambil berbalik kembali ke ruangan. Minho kemana, ya? Batinku khawatir. Dia tadi bersemangat sekali sewaktu Tiffanny mengatakan akan menonon latihan. Tapi kenapa sampai sekarang batang hidung jeleknya itu belum juga muncul?? -_-
Aku terbelalak begitu sadar dengan keadaan ruangan yang benar-benar kacau berantakan. Rupanya mereka terlalu bersemangat mengajak Tiffanny berkenalan, sehingga melempar seragam mereka begitu saja. Ck, dasar!
Satu per satu kuatur seragam yang berserakan ke loker masing-masing. Sekarang aku sudah hapal dengan pemilik seragam-seragam ini dan juga kebiasaan masing-masing anggota klub. Jinki hyung yang paling rapi. Sesempit apa pun waktu yang dia punya, seluruh barangnya tertata rapi di dalam loker. Lokernya juga selalu terkunci rapat. Tidak pernah kulihat barang Jinki hyung berserakan atau bercecer. Dan aku ingat dengan salah satu kebiasaan anggota klub yang ku anggap cukup aneh. Kim Jonghyun. Dia selalu memakai kaus kaki dan sepatu dulu sebelum mengenakan celana. Melihatnya terkadang aku suka tertawa sendiri.
“Aku tidak suka celanaku jadi tidak rapi karena harus membungkuk membetulkan tali sepatu.” Begitu alasan Jonghyun sewaktu aku pertama kali menanyakannya.
“Kau kan bisa menaikkan kakimu sejajar pinggang,” kataku.
Jonghyun menggeleng. “Itu malah lebih tidak rapi lagi. Kerutan di paha akan semakin terlihat.”
Dan argument terakhirnya itu membuatku menghela napas dan kemudian diam. Tersenyum melihatnya yang memakai sepatu hanya dengan boxer.
Dari semua anggota klub, yang paling berantakan adalah Minho. Semua barangnya dilempar ke dalam loker begitu saja. Akibatnya  pintu lokernya tidak pernah bisa ditutup. Baru saat latihan kemarin aku bisa menutup pintunya setelah barang-barang di dalamnya kuatur dengan rapi.
Aku pernah melihat isi loker Minho. Waktu itu dia meminta bantuan mencarikan pasangan kaus kakinya. Sangat sulit ditemukan karena isinya bertumpuk-tumpuk. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Bola karet, sepasang sepatu cadangan, jaket, topi, buku-buku, botol tempat minum yang entah sudah berapa lama tidak dicuci, handuk besar, dan entah apa lagi.
“Isi lokermu sebenarnya tidak ada yang istimewa. Yang istimewa adalah cara menyimpan barang-barang di dalamnya. Semuanya campur aduk menjadi satu.” Aku mengomel sambil membuka tumpukan kausnya.
“Itu namanya kreatif, tahu?!” sahutnya. “Oh! Itu dia!” Minho berteriak senang sambil menarik tanganku dan mengangkatnya ke udara. Lalu dia bersorak sorai riang.
Aku ikut tersenyum senang. Aku seperti melihat anak kecil yang menemukan kembali mainannya setelah sekian lama hilang. Wajah Minho saat itu benar-benar menggemaskan.
Kulirik loker Minho. Perasaanku menjadi hangat setiap kali melihatnya. Ya, namja si pemilik loker telah kusimpan di dalam hatiku. Aku sengaja menyimpannya, karena aku tidak berani mengatakan suka padanya. Aku bisa membayangkan, Minho pasti akan mengejekku seperti biasa. Aku tidak berani mengatakannya, karena aku…aku tidak tahu perasaan Minho padaku. Kalau saja aku yeoja…mungkin ini akan lebih mudah….
Kulihat Tiffanny duduk di bawah pohon. Sesekali dia bertepuk tangan. Berkali-kali anak-anak memalingkan wajah, menatapnya sebelum menggiring bola. Akibatnya, permainan berjalan lambat. Belum lagi mereka yang sengaja mencari perhatian dengan berteriak atau meloncat supaya Tiffanny menoleh.
“Sssh… Taemin!”
“Hah?!” Aku terlonjak kaget.
Minho! Wajahnya menyembul dari balik pintu.
“Kalau mau masuk, masuk saja. Jangan cuma kepalanya begitu! Buat kaget, tahu!” gerutuku.
Minho memasuki ruangan sambil celingukan. “Semua sudah ke lapangan?”
Aku mengangguk, “Kenapa kau terlambat? Tidak biasanya?”
“Terlambat? Kan lima menit lagi baru turun ke lapangan. Bukannya mereka yang terlalu cepat?”
Kulihat jam dinding. Benar. Seharusnya ini belum saatnya berlatih. Aku teringat kejadian tadi. Jinki hyung yang salah tingkah dan memberi isyarat agar semua anak ke lapangan.
“Pasti karena Jinki hyung.” Kataku sambil tertawa.
“Hyungku? Ada apa dengannya?”
Aku tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Minho melihat keluar jendela. Di bawah pohon tampak Tiffanny duduk sambil tertawa-tawa.
“Coba lihat.”
“Tiffanny? Dia menonton?”
“Tadi kan dia sudah bilang mau melihat permainanmu. Apa kau lupa? Atau…pura-pura lupa?!”
Minho diam, “Oh, begitu. Wah, aku pasti jadi semangat diperhatikan yeoja cantik seperti Tiffanny. Aku senang melihat tawanya.”
Deg!
“Lihat gayanya, Taemin. Dia memang yeoja idaman yah. Lembut dan keibuan.” Kata Minho sambil membelakangiku, memandang Tiffanny dari jendela.
Darahku seperti berhenti mengalir ke jantungku. Mataku nanar melihat Minho yang sedang tersenyum bersandar di jendela memandang ke arah lapangan.
“Ya kan, Taemin?”
Tiba-tiba Minho menoleh.
Aku terkejut. A-aku tidak ingin dia melihat mataku yang mulai berair dan mengetahui bahwa aku sedang gelisah.
“Kau kenapa? Dari tadi diam saja.”
Aku cepat-cepat menggeleng tidak ingin dia tahu isi hatiku yang benar-benar terasa sesak, “Tidak ada apa-apa.”
“Kau lelah ya membereskan ruangan ini setiap kali kita berlatih…”
“Anii. Aku…aku suka, kok.”
Minho mengerutkan alisnya dan memandangku penuh selidik, dan aku tersenyum “Ya, sudah. Aku ke lapangan dulu. Aku juga ingin Tiffanny melihat permainanku. Tendanganku oke, kan?” katanya sambil menalikan sepatu. “Eh ya, Taemin. Soal kerikil jangan kau beritahu pada yang lain, ya.”
Aku tidak megerti maksudnya tetapi aku hanya mengangguk.
Kemudian Minho keluar. Sesampainya di pintu dia berbalik. “Taemin, gomawo. Lokerku sudah kau rapikan.”
Belum sempat aku menjawab, dia sudah melesat keluar.
Melihat Minho datang, Tiffanny langsung berdiri menyambut dengan senyum lebar menghiasi wajah cantiknya. Di sepanjang permainan babak pertama, dia terus memperhatikan Minho. Ketika namja itu membuat gol, aku tidak bisa menyembunyikan bahwa aku turut gembira. Aku berjingkrak sambil mengacungkan dua jempol.
“Kau hebat Minho!” teriakku yang melihat dari balik jendela. Jelas, dia tidak akan mendengarnya.
Tapi tiba-tiba Minho menoleh ke arahku lalu melambai sambil tersenyum riang. Kubalas dengan melambaikan kaus yang tengah aku pegang, entah kaus milik siapa. (Aku sedang memunguti kaus-kaus yang berserakan tadi).
Tetapi…ternyata aku salah. Bukan aku yang dituju oleh Minho. Di hadapanku berdiri Tiffanny yang sedang melambaikan tangan dengan penuh semangat. Minho tertawa lalu kembali berkonsentrasi ke lapangan.
Aku lebih suka mengamati permainan mereka dari jendela ini, karena dari sini aku bisa leluasa memandang Minho tanpa takut ketahuan orang lain. Tetapi tadi aku sudah terlanjur berjanji dengan Tiffanny untuk menonton bersamanya di lapangan. Akhirnya setelah melipat kaus terakhir, aku pun bergegas ke sana.
“Minhoooooooooo!!”
“Wah, semangat sekali…” kataku pada Tiffanny ketika aku sampai di lapangan dan berdiri di sebelahnya.
“Kamu benar Taemin. Permainan Minho sanga bagus! Di Perancis, anak yang menjadi bintang lapangan pasti punya banyak penggemar dan menjadi populer. Aku pasti punya banyak saiangan yah? Benar kan, Taemin?”
Tiffanny…menyukai Minho…?
“Taemin?”
“Eh?! Aku…aku tidak tahu.” Jawabku.
“Benarkah? Kau tidak tahu? Bukankah kau dekat dengan Minho, eum?”
“Ya…aku memang dekat tapi…kenapa tidak kau tanyakan sendiri saja?” karena aku betul-betul tidak tahu. Aku tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti itu, tapi begitu Tiffanny menanyakannya, aku jadi cukup penasaran. Apa benar Minho banyak yang suka??
“Oh, begitu…baiklah, nanti aku akan bertanya.” Jawabnya riang.
Dan Tiffanny benar-benar menanyakannya pada Minho. Ini terjadi ketika kami bersama-sama keluar dari lapangan.
“Minho punya banyak penggemar, ya?” Tanya Tiffanny tiba-tiba.
Mungkin karena terbiasa bergaul cara barat yang terbuka, Tiffanny mudah saja menanyakan hal itu. Kulihat Minho agak terkejut, tapi dia hanya tertawa. “Penggemar? Maksudmu?”
“Maksudku…penggemar yang menyatakan rasa suka padamu.” Jawab Tiffanny blak-blakan.
“Hmm…kalau yang seperti itu, sepertinya belum ada.”
Issh, memangnya dia itu tampan? Coba sana berkaca dan lihat mata lebarmu itu! Mata seperti kodok, wajah seperti alien…. Memangnya kau begitu tampan sampai harus menunggu orang lain mengatakan suka padamu, eoh?!  Aku benar-benar kesal mendengar kepedean-nya, tapi…salah satu bagian diriku menyadarkan bahwa…berarti kesempatan untukku masih terbuka lebar(?)
“Benar belum ada?” desak Tiffanny.
Tiba-tiba dadaku sesak dan jantungku berdetak sangat kencang memukul dadaku. Apa Tiffanny akan menyatakan perasaannya pada Minho? Oh Lord, kalau itu sampai terjadi, maka patung indah yang kubangun dari kerikil-kerikil yang setiap pagi ditendang Minho ke punggungku akan berantakan. Semua yang selama ini kunikmati sendiri akan berhenti mendadak.
Minho menegakkan kepal, “Belum… Tapi entah kalau ada penggemar gelap.”
Deg!
Mu-mungkinkah…dia tahu bahwa selama ini aku sering memperhatikannya dan selalu merindukannya kembali duduk di sampingku? Merindukannya setiap kami berpisah di depan apartemennya dan aku dengan sangat tidak sabar menanti hari berganti esok untuk kembali bertemu dengannya? Dan…alasanku menjadi manajer klub sepak bola juga adalah karena dirinya.
Aku baru sadar, bahwa aku benar-benar tidak ingin berpisah dengan Minho. Aku ingin selalu berada di dekatnya
“Wah, ketemu lagi. Jangan-jangan kau suka padaku, ya?” sindir Minho sewaktu kami berjalan pulang bersama-sama.
“Enak saja. Aku mau menjadi manajer di sini karena…”
“Karena ada aku, kan?” sela Jinki hyung.
Aku tertawa.
“Benar begitu?” tanya Minho cepat.
“Hmm…benar juga. Kudengar permainan Jinki hyung memang bagus. Lagi pula kalau sudah kenal baik dengan kaptennya, tugas seorang manajer biasanya menjadi lebih menyenangkan.” Aku beralasan.
Jinki hyung memandangku dengan serius lalu mengangguk sambil tersenyum.
Maka, aku resmi menjadi manajer klub bersama Kibum. Tapi belum sampai sebulan, Kibum mengundurkan diri sebagai manajer. Sambil mencari manajer pengganti, sementara ini aku harus bekerja sendiri. Mencari manajer yang mau mengerti kebiasaan anak-anak pemain sepak bola itu tidak mudah, kata Jinki hyung. Makanya mereka berhati-hati memilih.
“Penggemar gelap?” Tanya Tiffanny. Pertanyaannya membuyarkan lamunanku. “Aku tidak suka tipe yang seperti itu. Kedengarannya pengecut, ya.”
Minho hanya diam tidak menjawab, sedangkan aku hanya bisa member komentar, “Hmmm.”
“Minho suka tipe yang seperti apa?” Tanya Tiffanny lagi.
Aku sengaja melangkah di belakang mereka. Aku tidak siap mendengar jawaban Minho. Tidak. Sebenarnya aku ingin mendengar…tetapi aku terlalu takut untuk mengetahuinya.
Minho memindahkan tas besarnya ke pundak kiri, “Hmm aku suka yang…cantik, pasti.”
Ugh! Leherku rasanya seperti dicekik dengan keras. Bukankah tadi di ruang klub, Minho mengatakan kalau Tiffanny cantik?
“Lalu…keibuan.”
DUAR! Kepalaku seakan meledak dan aku seperti ingin mati saat itu juga. Tadi Minho juga mengatakan kalau dia suka yang keibuan! Eottokhe?!!! Apa aku akan menjadi saksi mereka menjadi sepasang kekasih?
Tiba-tiba pandanganku kabur. Setitik air memenuhi mataku dan yang paling menyesakkan, aku merasa sendirian di antara mereka, di luar pembicaraan mereka.
“Kalau begitu…” sambung Tiffanny, “Aku masih mempunyai kesempatan, kan?”
Minho tertawa, “Kesempatan selalu terbuka untuk yang berani mengungkapkan.”
Mereka tertawa bersama, dan aku tidak tahan mendengarnya.
“Ya, anak ayam! Kau kenapa? Dari tadi kau diam saja, biasanya kau kan berisik.” Tegur Minho.
Aku tersentak, pura-pura membungkuk membetulkan tali sepatu. “Tidak apa-apa. Ini… tali sepatuku lepas.”
“Taemin pasti lelah menjadi manajer. Bagaimana kalau aku ikut membantu? Yah, sekalian bisa melihat Minho berlatih.” Kata Tiffanny.
Sekarang aku seperti sedang ditenggelamkan ke dalam sungai yang dingin. Apalagi ketika Minho mendukung, “Boleh. Nanti kita usulkan ke Jinki hyung, iya kan, Taemin?”
“Eh…ya. Kita bicarakan besok saja, ya.”
Kami sudah sampai di pertigaan jalan. Harusnya aku dan Minho mengambil jalan ke kiri dan Tiffanny ke kana, tetapi tidak kali ini.
“Aku ingin tahu apartemen Minho. Boleh aku lewat jalan ini? Di dekat sana ada perempatan jalan menuju rumahku.” Kata Tiffanny riang.
“Rumahmu kan jauh. Nanti akan semakin jauh kalau harus memutar jalan, kan?” kataku, berharap Tiffanny membatalkan niatnya.
“Sudahlah, ayo! Biar tidak kemalaman.” Ajak Minho.
“Kalau kemalaman aku bisa minta diantar Minho, kan?” Tanya Tiffanny manja.
“Boleh.”
Sepertinya aku benar-benar kalah. Seandainya ada time out, agar aku bisa mengatur strategi untuk menghadapi saat menegangkan seperti ini. Aku tidak bisa mambayangkan bagaimana harus berjalan bersama mereka. Dan aku sadar, sebelum aku melangkah…aku sudah dihadapkan oleh tembok tinggi yang tidak mungkin bisa kupanjat. Apa aku harus menyerah?
“Oh ya, Minho, Tiffanny. Aku baru ingat tadi umma memintaku ke supermarket dulu. Ada yang harus dibeli. Kita pisah di sini, ya. Sampai besok.”
Saat aku melangkah pergi, tanganku digenggam oleh Minho yang mencegahku. “Tadi pagi kau tidak bilang mau ke supermarket?”
Aku melirik tanganku yang digenggamnya, hangat….
“Mian, aku baru ingat.”
“Wah, sampai rencana ke supermarket pun Minho tahu. Kalian memang sahabat dekat, ya…tapi, Minho masih membuka kesempatan untukku, kan? Kalian…tidak berpacaran, kan?”
Minho dan aku jadi salah tingkah. Buru-buru kulepaskan tangan Minho dari tanganku.
Aku ingin tangan hangatnya hanya menggenggam tanganku seorang….
            “Hahaha Tiffanny kau bicara apa? Tidak, kok! Ya, sudah ya! Nanti kemalaman. Sampai besok. Annyeong~!” kataku setengah berlari. Ya, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kalau aku terus berada di sana, aku takut mereka melihat air mataku yang kini tanpa seijinku mengalir di pipiku.
“Taemin!”
Tanpa mempedulikan panggilan Minho, aku terus berlari menjauh.
Aku tidak pergi ke supermarket karena itu memang hanya alasanku saja. Aku masuk ke sebuah taman. Dulu sewaktu aku masih kecil, Umma sering mengajakku ke taman ini. Sore yang hangat adalah saat yang paling menyenangkan untuk bermain ayunan. Aku sangat suka bermain ayunan, dan ayunan favoritku ada di ujung, di dekat semak pembatas. Di ayunan inilah aku tertunduk lesu.
Tiffanny benar. Aku memang pengecut yang menyukai Minho secara diam-diam. Seandainya aku berani mengatakan suka sejak dulu, pasti tidak akan begini jadinya. Dan sekarang, ketika Minho sedang bersama Tiffanny, rasa sesal yang amat sangat mendera hatiku. Aku yang selama ini selalu dekat dengan Minho malah menjadi terasing. Jika berjalan bertiga, rasanya aku seperti makhluk asing yang tidak sejalan dengan mereka.
Baru kali ini Minho dan aku pulang terpisah dan Minho meninggalkanku. (Walau sebenarnya aku yang pergi meninggalkannya). Hati kecilku menyuruhku untuk mengungkapkan perasaanku, tetapi mengingat wajah bahagia Tiffanny ketika berada di dekat Minho, aku tidak sanggup menghancurkan kebahagiaannya. Aku hanya akan menjadi kerikil yang menghalangi mereka.
.
.
.

Keesokan hari, sepulang sekolah adalah giliran aku dan Minho untuk piket kelas. Setelah kejadian kemarin, aku dan Minho menjadi sedikit canggung. Ketika berangkat sekolah pun kami tidak terlalu banyak bicara, padahal biasanya kami saling mengejek atau berdebat selama perjalanan menuju sekolah.
Dan seperti saat ini, aku dan Minho mendapat bagian membuang sampah dan membuangnya ke pembuangan akhir di halaman belakang.
Aku memegang sisi sebelah kanan dan Minho sisi satunya. Kami berjalan dengan diam. Rasanya benar-benar tidak nyaman, sampai…
“Minhooooo!” terdengar suara Tiffanny memanggil.
Kami menoleh dan sepakat berhenti.
“Apa masih lama?” Tanya Tiffanny.
“Ya, hari ini aku piket. Mian jadi menunggu. Setelah membuang ini selesai, kok.” Jawab Minho dan Tiffany tersenyum mengangguk.
“Kalian ada janji?” tanyaku.
Apa kalian akan berkencan?
“Tadi aku minta Minho mengantarku ke DDM.” Jawab Tiffanny.
Jadi mereka benar-benar berkencan…apa kemarin Tiffanny sudah menyatakan perasaannya? Apa mereka telah berpacaran?
“Kenapa tidak bilang padaku?” aku terkejut dengan nada bicaraku sendiri, sedikit terdengar menuntut.
Minho baru akan menjawab tapi Tiffanny menyela, “Waah, jadi kalian harus saling memberitahu dan meminta ijin ya? Waah…aku iri…”
“Bukan begitu Tiffanny. Kalau Minho bilang padaku, Minho bisa melepas piketnya untuk hari ini. Agar kau tidak menunggu lama.”
Minho mengernyitkan dahinya hendak protes. “Bukannya biasanya kau selalu melarang orang yang membolos piket?”
“Aku bisa menggantikan tugasmu. Dan minggu depan kau menggantikan tugasku, adil kan?” ucapku beralasan.
“Memang minggu depan kau mau kencan dengan siapa?” ledek Minho.
Deg!
“Waah… Taemin punya pacar, kah? Taemin kan manis…pasti pacarmu namja tampan, kan?! Kalau pacarmu yeoja, pasti mereka malu karena kalah saing darimu. Hahaha. Oya, nanti kita bisa kencan ganda, iya kan, Minho?!”
“Bu-bukan begitu…aku belum punya pacar. Tidak ada kencan, tadi aku cuma bercanda.”
Tapi seolah tak mendengar, Tiffanny terus saja mengoceh tentang ‘pacarku’…
“Hmm…tipe idaman Taemin pasti yang kalem tapi tegas, ya? Soalnya kalau sama-sama ribut seperti Minho, tidak cocok. Tidak seimbang.”
Deg!
Aku terdiam, begitu juga Minho.
Dan setelah membuang sampah, mereka pun pamit duluan. Melihat mereka pergi bersama, aku semakin sadar. Bahwa tempatku di antara mereka, sama seperti sebuah bayangan. Tidak terlihat, dan terlupakan.
Aku berjalan menuju taman kemarin, dan duduk di ayunan favoritku. Hatiku benar-benar sakit. Tapi Tiffanny mengatakan aku manis..dan pacarku nanti pastinya seorang namja…kalau itu benar, aku ingin dia adalah Minho.

AUTHOR POV
Taemin menangis semakin terisak. Hari sudah malam dan bulan sedikit tertutup awan. Tetesan air hujan mulai turun membasahi tanah. Taemin berdiri namun tangannya masih menggenggam besi ayunan.
Ada dua pilihan yang diajukan oleh hati kecil Taemin, mengatakan suka dengan kemungkinan ditolak dan hubungan menjadi tidak enak, atau tetap diam walau membuat hati sakit?
Ia memejamkan matanya dan menghela napas untuk memilih. Ya, Taemin memutuskan untuk memilih pilihan kedua. Meyakinkan dalam hati bahwa ia butuh time out  untuk membenahi isi hatinya dan menenangkan perasaannya.
Setelah merasa sedikit lega, Taemin pun melangkah pulang dengan ditemani hujan. Begitu melewati Apartemen Minho, bangunan itu terlihat gelap. Taemin yakin Minho belum pulang, dan kemungkinan besar masih bersama dengan Tiffanny. Lagi Taemin merasakan nyeri di dadanya. Tetapi ia sudah menetapkan hati dengan pilihannya.
Memandang sekali lagi ke arah jendela kamar Minho, dan tersenyum sendu. Hujan semakin deras, dan ditengah jalan yang sepi, Taemin berjalan sendirian…….
                                                                                  .
                                                                                  .
                                                                                  .
                                                                                  .
                                                                                  .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar